Rabu, 18 Februari 2015

David Choe

Jiwa seninya sudah muncul sejak masih remaja. Sayangnya pelampiasan David Choe salah. Di masa itu ia jadi anak nakal. Ia berkali-kali mencuri sepeda untuk kemudian ia jual. Kebengalannya mulai mereda saat beranjak menjadi remaja tanggung. Ia mulai suka membuat grafiti (mural). Sayangnya ia melampiaskannya di berbagai tempat yang tak semestinya. Seperti mencoret-coret halte bis dengan pesan yang ingin ia sampaikan kepada publik, atau di tembok rumah orang.

Anak muda keturunan Korea Selatan dan lahir di Los Angeles, Amerika Serikat, tahun 1976 ini sempat mengalami trauma kerusuhan etnis di Los Angeles pada tahun 1992. Saat itu ia berusia 16 tahun dan di sekolah hanya dia dan kakaknya yang keturunan Asia. Selepas menyelesaikan sekolahnya, David memutuskan pergi berkelana ke berbagai kota di Amerika. Tahu-tahu ia pergi ke Eropa, Timur Tengah, dan bahkan Afrika sendirian. Ia menggelandang di sana.

Namun saat usianya menginjak 21 tahun, ia menyadari bahwa harus memiliki bekal untuk menempuh masa depannya. Ia balik ke Los Angeles dan mulai belajar seni di California College of Arts & Crafts di Oakland, California. Sayangnya di sini kenakalannya kambuh. Kerap ia mengambil alat-alat gambar yang diperlukannya dari toko tanpa membayar. Begitupun dengan makanan. Kenakalan itu membuatnya pernah dipenjara semingu.

Meski begitu, ia bisa bekerja sebagai ilustrator di beberapa majalah. Ia juga membuat lukisan kontemporer sebagai ekspresi seni pribadinya. Dan karyanya itu tersebar di berbagai tempat. Kadang ia memberikan begitu saja hasil karyanya pada seseorang. Pernah suatu kali ia memajangnya di atas toko es krim yang ramai di Melrose Avenue, Beverly Hill. Sebenarnya ia hanya ingin memamerkannya beberapa hari. Namun karena banyak yang memperhatikan dan toko es krim itu jadi laku, pemilik toko meminta agar lukisan itu tak segera diambil. Ia bahkan memajangnya sampai dua tahun. David lalu membuatkan lukisan-lukisan lainnya yang kemudian menjualnya pada pemilik toko itu.

Di samping jadi ilustrator, ia juga membuat komik bergambar Slow Jams yang ia terbitkan sendiri dengan cara difot kopi. Ia membuatnya sebanyak 200 eksemplar. Ternyata ada penerbit yang tertarik untuk menerbitkannya dan David mendapatkan kompensasi sebesar US$5000. Komik itu kemudian terbit tahun 1999. Gara-gara komik inilah, ia mendapat banyak tawaran untuk membuat ilustrasi komersial berbagai macam produk. Itu karena karyanya unik, ekspresif, dan memiliki nilai seni kontemporer yang kental. Di samping itu ia pun terus membuat lukisan dan mural, tetapi kali ini resmi meski kadang tak dibayar. Obsesinya adalah membuat mural di berbagai penjuru kota di dunia.

Pada tahun 2003, ia pergi ke Jepang. Di bandara, ia dicurigai petugas karena berperilaku kasar. Karena sikapnya itu, ia diinterograsi dan ditahan selama 24 jam. Besoknya ia bersitegang dengan petugas sampai-sampai ia meninju petugas itu dengan telak. Gara-gara itu ia dipenjara selama tiga bulan. Selama di penjara ia isi hari-harinya dengan menggambar. Tercatat ada 600-an gambar yang ia buat.

Setelah menjalani hukuman, ia diusir dari Jepang dan tak boleh kembali ke negeri itu. Tiba di San Jose, AS, David merenung, lalu menata diri dan mencoba menjauhkan dirinya dari sikap destruktif agar masa depannya lebih baik. “Saya akan berperilaku kasar jika tak punya kesempatan menggambar. Saya tak punya kemampuan lain selain menggambar,” katanya memberi alasan.

Agar sifat buruknya tak muncul, ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Lantas ia mendapat proyek membuat mural di Hollywood dari artis-artis di sana. Bahkan penyanyi seperti Jay-Z dan grup band Linkin Park tertarik juga pada hasil karyanya dan meminta untuk dibuatkan coveralbum mereka.

Pada tahun 2005, David bertemu dengan salah satu pendiri Facebook, Sean Parker, yang memintanya membuatkan mural di dinding kantor perusahaan itu di Palo Alto, California. Usai membuat mural, si pemesan menawari pembayaran dengan dua alternatif, uang tunai US$60.000 atau saham. Saham Facebook yang ditawarkannya saat itu bernilai US$0,1 - US$0,25 per lembar.

Ternyata Choe memilih saham. Sebenarnya saat itu Facebook belumlah apa-apa. Ia sendiri tak bisa membayangkan seperti apa Facebook di masa depan. Bahkan ia menganggap model bisnis yang dijalankan Facebook itu sedikit konyol dan kurang bermanfaat. Namun karena ia merasa seide dengan mereka (Sean Parker dan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook lainnya), ia menghargai dibayar dengan saham. Dua tahu kemudian, giliran Mark Zuckerberg yang meminta dibuatkan mural di ruang kerjanya.

Tahun berganti tahun, ternyata nilai saham dari bayaran pembuatan mural itu terus meningkat. Maret 2012 lalu, saat Facebook siap-siap melakukan IPO (Initial Public Offering), saham yang dimilikinya sudah bernilai sebesar US$500 juta atau senilai Rp4,5 triliun. Saham Facebook milik David benar-benar berkembang biak. Ia tak mengira kalau sahamnya (uang investasinya) tak tidur selama ini hingga tumbuh menjadi raksasa nilainya. Luar biasa!